Ulas Buku Januari 2021


Judul: 33 Senja Di Halmahera

Penulis: Andaru Intan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 2017

Ketebalan: 192 Halaman

ISBN: 978-602-03-4264-1

"Ini tentang kamu. Tentang senja-senja di Halmahera, bia-bia, dan ikan bisa. Tentang tarian lalayonmu, pohon sagu, dan sabetamu. Juga ketang kenari yang kau sukai." 

Tulisan milik salah satu dokter bernama Andaru Intan membuat saya bernostalgia dengan Halmahera. Tentang keindahan alamnya dan keindahan senja disaat matahari pamit untuk tenggelam semua tergambar rapi dalam buku ini. 

Buku ini membuat saya akan lebih rindu tentang tempat bernama Halmahera meskipun latar belakang buku ini menceritakan lokasi berbeda yaitu Halmahera Selatan tapi itu cukup menggambarkan suasana ketika saya pernah tinggal di Halmahera tepatnya di Halmahera Utara. 

Sebuah buku yang menceritakan tentang seorang tentara bernama Nathan, lelaki asal Sirimau yang dipindah tugas karena berkelahi dengan anak pejabat di daerahnya. 

Beranjak dari situ Nathan dipindahkan di Ibukota Provinsi Maluku Utara, Kota Sofifi dan disaat bersamaan Nathan mendapatkan tugas selama 33 hari di pelosok Selatan Halmahera yaitu di Daerah Gane, Halmahera Selatan. 

Di sanalah dia bertemu seorang wanita bernama Puan, seorang gadis yang berprofesi sebagai guru yang lumayan manis dan menarik perhatian Nathan. 

Selama 33 hari bertugas, Nathan memulai kisahnya dengan Puan. Namun hal tersebut memiliki halangan karena berhubung mereka memiliki keyakinan yang berbeda. Nathan yang beragama Kristen dan Puan yang beragama Islam adalah tembok penghalang bagi mereka berdua untuk lebih serius kedepan. 

Selain menceritakan kisah romantis mereka berdua, buku ini juga menceritakan tentang keadaan konflik tahun 1999 yang dimana saat itu Maluku Utara pernah terjadi konflik horizontal antar umat beragama yang menyebabkan trauma sendiri bagi Puan. 

Buku ini juga mengingatkan saya tentang keindahan pantai serta hutan yang didalamnya ada pohon sagu dengan hewan bernama sabeta (ulat sagu) menambah kerinduan saya akan tempat bernama Halmahera. 

Selain kondisi alamnya, juga mengingatkan saya tentang tradisi Barongge atau yang biasa kita kenal tradisi menari adat di acara pernikahan dan itu yang melekat dalam pikiran saya ketika saya pernah menari lalayon waktu tinggal di Halmahera 2 tahun lalu. 

Buku ini meninggalkan kesan romantis dan patah hati dengan seiring kutipan dalam buku yang saya sukai yaitu "Aku akan mengikhlaskanmu, dan kau akan mengikhlaskanku. Seperti batang sagu yang menghidupi ulat-ulat sabeta hingga berubah jadi kepompong dan terbang sebagai kumbang hutan. Seperti cangkang yang melindungi bilolo dan ditinggalkannya di tepian pantai. Seperti senja-senja di Halmahera yang meninggalkan cahaya-cahaya emas di batas cakrawala" (Hal.187).

Jika pembaca ingin mengunjungi Halmahera salah satu referensi adalah buku ini. Di mana buku ini menceritakan dengan jelas kondisi dan keindahan surga dunia yang bernama "Halmahera".

Komentar

Postingan Populer